Judul Buku : Ayahku (Bukan) Pembohong
Penulis : Tere Liye (Darwis Darwis)
Penerbit : Gramedia
304 hlm; 20 cm
Rate : 4/5
Quote:
Danau Para Sufi
"Setelah lima tahun bekerja keras, hanya untuk memahami sebuah kebijaksanaan hidup sederhana, Ayah tahu jawabannya. Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kita sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar, membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati yang datang dari luar hati kita. "
"Kalau kau punya hati yang lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tidak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki dengan kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak akan menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kau miliki."
Kutipan yang saya ambil dari bagian-bagian akhir buku karya Bang Darwis kali ini, menurut saya merupakan rangkuman dari keseluruhan cerita yang tersaji dalam buku setebal 304 halaman ini. Mengajak pembaca untuk dapat memaknai hidup dengan kesederhanaan, lapang dada, bersyukur, dan bekerja keras, memang sudah menjadi misi Bang Darwis dalam setiap tulisan-tulisannya.
Sebelum sampai pada cerita "Danau Para Sufi" yang merupakan cerita terakhir yang diceritakan oleh Ayah Dam, kepadanya, jauh-jauh hari sebelumnya, saat Dam masih kecil, dan bahkan belum dapat berbicara, Ayahnya sudah menceritakan kisah-kisah petualangan dan membacakan buku-buku. Begitulah cara Ayah Dam, mencoba menanamkan kebaikan kepadanya. Dan harapan Ayah, sepertinya terpenuhi, Dam, tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, sopan kepada siapa saja, sabar, rajin, bahkan hampir semua kebaikan ada padanya. Ayah Dam, terkenal pula sebagai orang paling jujur dan dapat dipercaya. Hampir seluruh kota mengenalnya.
Hanya saja, ketika Ibunya wafat, Dam menimpakan semua kesedihan dan penyesalannya yang tidak sempat membawa Ibunya berobat kepada sang Ayah. Dam, merasa dikhianati, ketika Ayahnya berbohong, mengenai kondisi Ibunya yang sebenarnya sudah kritis. Dam mana tau, bahwa kondisi Ibunya sudah kritis bahkan sebelum melahirkannya. Ayah, menutupi semua, demi kebaikan Dam sendiri. Tapi Dam, justru menyalahkan sang Ayah, dan merasa Ayahnya tidak berusaha berbuat apapun untuk Ibunya.
Ketika sampai pada bagian kesalahpahaman Dam dengan Ayahnya ini, rasa-rasanya saya ingin menjerit. Berteriak di telinga Dam, atau menempeleng kepalanya sekalian, supaya dia bisa mengerti, bagaimana niat baik Ayahnya yang berbohong demi kebaikan. Hanya itu satu-satunya kebohongan Ayah, dan Dam berkesimpulan bahwa semua cerita-cerita Ayah selama ini adalah kebohongan-kebohongan lainnya. Dan mulai saat itu, Dam membenci cerita-cerita Ayahnya.
Fyuhhh,.. Ketika akhirnya selesai membaca buku ini. Saya benar-benar ingin sekali menempeleng Dam. Sebegitu kuatnya emosi saya terlibat dalam buku ini, sebegitu hebatnya Bang Darwis membuat cerita yang mampu melibatkan emosi kita ketika membaca bukunya. Sudah beberapa buku karya Darwis Tere Liye yang saya baca, dan hampir semua menguras airmata. Walau di bagian-bagian awal buku saya sempat tergelak-gelak, menertawai Dam yang berenang telanjang karna tali celana pendeknya putus ditengah kolam, atau olok-olokan antara dirinya dengan Jarjit, dan kelucuan-kelucuan serta kenakalan kisah masa kecil Dam lainnya. Namun, ketika tiba di bagian sepertiga akhir buku, awan mendung mulai menggantung, dan tanpa tertahankan airmata ini satu-satu, jatuh bercucuran.
Di bagian awal sejujurnya saya sempat bosan juga dengan kisah petualangan Ayah Dam, dan kesimpangsiuran kebenaran cerita-cerita yang pernah disampaikannya kepada Dam. Tapi seperti kata Dam kepada anak-anaknya, biarlah entah cerita itu benar atau tidak, Ayah hanya sedang mencoba menanamkan kebaikan dalam setiap ceritanya, saya pun lanjut membaca. Kemudian, buku ini menjadi rekor, salah satu buku yang tuntas saya baca dalam satu hari.
Jalan cerita dalam buku ini seperti kerucut, pada mulanya bersisian antara kisah Dam pada masa lalu, dengan kisahnya pada saat ini. Namun diakhir, kisah masa lalu dan masa kini Dam menyatu, karna kisah masa lalu Dam, dirangkai dari masa yang paling lama ke masa yang paling kini. Layout buku ini asyik, pilihan huruf yang terangkai tidak terlalu kecil, dan dipisahkan dengan spasi 1,5 nyaman dimata saya.
Buku ini, sangat saya rekomendasikan, bagi siapa saja. Semua umur. Hanya pesan saya, jangan membaca buku ini (apalagi ketika memasuki bagian akhir) di tempat umum. Pilihan membaca di bis kota juga bukan pilihan yang baik. Rasanya gak enak dilihatin orang kiri-kanan, karna terisak-isak sendirian. Apalagi kenikmatan meresapi kesedihan itu, bakal kurang greget, karna suara nyanyian pengamen, deru Bis dan teriakan Kondektur.
Ketika menyimpan buku ini di dalam tas, mungkin kita akan merasa seperti sedang membawa-bawa kitab mengenai pelajaran hidup yang amat berharga.
Dan, soal rate yang cuman 4 itu, terus terang saya ngerasa gak sreg dengan endingnya. Jadi yah, karna Bang Darwis pernah bilang dia gak akan bikin sekuel dari setiap buku yang ditulisnya, baiklah saya karang sendiri versi happy endingnya di kepala saya.
Kisah Danau Para Sufi itu cuman sebagian, bukan cerita utuh.