buhitoz
- 07/11/2011 11:53 PM
#101
Sebuah ulasan tentang buku tulisan FM. Suseno.
Ane sendiri belum baca bukunya, tapi ulasannya semoga menarik.

KITA DAN WAYANG. Oleh: Franz Magnis Suseno. Seri Pengetahuan Lintas, Penerbit: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, Jakarta 1982, 47 hal. Rp 400.
TOKOH wayang bukanlah makhluk sejarah. Tapi di Jawa, dan mungkin juga di Bali, mereka seperti pernah hidup, dan berkubur, di antara kita. Waktu kecil dulu, dalam suatu perjalanan melewati Pegunungan Dieng, saya melihat sederet candi di plateau itu dengan keyakinan bahwa Pandawa dulu pernah di sana. Sudah tentu, menurut arkeologi, tidak. Mungkin karena keintiman seperti itu kita umumnya jarang melihat kisah Mahabharata dan Ramayana sebagai dua cerita yang punya awal dan akhir seperti novel. Kita lebih tertarik dengan tokoh-tokohnya -- yang bisa muncul di kisah mana pun, seperti Robert Redford bisa muncul di cerita perang atau cerita koboi. Tak habis-habisnya.
Karena itu esei Franz Magnis Suseno ini segar sekali buat kesadaran kita. Mungkin justru karena dia bukan "ahli wayang", dan tak berasal dari dalam lingkungan kebudayaan Jawa, dia dapat melihat apa yang selama ini kita terima sebagai bagian yang tak menarik perhatian kita sendiri -- atau telah kita lupakan. Misalnya kesimpulan, bahwa wayang "tidak bersifat moralistis". Meskipun intinya tidak baru ( telah diungkapkan misalnya oleh sarjana Amerika B.R.C.G. Anderson), kesimpulan Franz Magnis layak dikutip di sini: "Wayang itu tidak mau menggurui kita, tidak mau memberi pelbagai nasihat dan norma-norma." Terutama dalam lakon Mahabharata, [B]"orang Jawa menyadari bahwa baik buruk seseorang bukanlah perkara yang mudah diputuskan . . ." [/B]
SIKAP wayang yang menolak gambaran Manichean "sana-hitam-sini putih" itu bagi Franz Magnis nampaknya merupakan ciri sentral. Berulang kali hal ini disebutkannya. Tentang itu, sekedar catatan bisa dikemukakan di sini. Orang bisa menyetujui Franz Magnis dengan menambahkan, bahwa bukan cuma Mahabharata yang "antimoralis". Ramayana juga. Kurang tepat bila Franz Magnis menyebutkan, bahwa dalam kisah Rama ini, cuma satu orang yang dilukiskan punya watak luhur di kubu "hitam" Rahwana (halaman 19). Pun warna "putih" Rama sendiri agak cela, bila kita ingat bagaimana ia mengintervensi konflik Subali-Sugriwa. Terbunuhnya Subali oleh panah Rama, tak pernah saya pahami betul sejak saya kanak-kanak hingga sekarang. Kematian itu teramat menyedihkan. Dalam hal itu, Franz Magnis hanya sekedar kurang lengkap. Tak berarti tesisnya salah. Tapi bagaimana kalau tesisnya salah? Benarkah "orang Jawa tak begitu suka dengan suatu pandangan dunia yang hitam putih, simplistis, moralistis"?
Untuk itu tentu perlu penelaahan lebih lanjut. Misalnya tentang sejarah penciptaan Mahabharata sendiri. Dalam kata-kata Radhakrisnan, dari bukunya tentang filsafat India, Mahabharata disusun oleh banyak orang, dan "menjadi suatu ensiklopedia aneka-ragam." Tidakkah karena itu cerita ini tidak simplitis moralitasnya? Dan bukan karena kecenderungan sikap orang Jawa? Ataukah karena pengaruh karya besar Hindu ini, di mana (sekali lagi menurut Radhakrisnan) "ide-ide yang bertentangan dihimpun bersama dalam satu keseluruhan," maka orang Jawa cenderung toleran terhadap perbedaan keyakinan? Bila itu benar, bagaimana menerangkan terjadinya banyak kekerasan dalam sejarah Jawa, misalnya ketika Amangkurat I membunuhi para ulama? Seberapa jauh sikap "antimoralis" tercermin dalam karya sastra orang Jawa asli, sejak karya Yasadipura sampai dengan karya Any Asmara, sejak Wulang Reh sampai dengan Perjuangan Suku Naga? Sudah tentu mustahil bagi buku kecil Franz Magnis ini untuk mengemukakan hal itu lebih jauh.
Nilai yang amat berharga dari risalah ringkasnya justru pesan Franz Magnis Suseno melalui interpretasinya tentang wayang. Izinkanlah saya mengutipnya: [B]"Apa yang dipertontonkan dalam wayang dapat mengesan pada kita, tanpa memaksa kita ke salah satu arah. Kita ditawari kemungkinan-kemungkinan hidup manusiawi, tetapi tak ada sesuatu yang kita tiru begitu saja . . . Kita sendiri harus menemukan apa yang menjadi kewajiban kita masing-masing." [/B]
Goenawan Mohamad
sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1982/06/19/BK/mbm.19820619.BK46924.id.html#
Ane sendiri belum baca bukunya, tapi ulasannya semoga menarik.

KITA DAN WAYANG. Oleh: Franz Magnis Suseno. Seri Pengetahuan Lintas, Penerbit: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, Jakarta 1982, 47 hal. Rp 400.
TOKOH wayang bukanlah makhluk sejarah. Tapi di Jawa, dan mungkin juga di Bali, mereka seperti pernah hidup, dan berkubur, di antara kita. Waktu kecil dulu, dalam suatu perjalanan melewati Pegunungan Dieng, saya melihat sederet candi di plateau itu dengan keyakinan bahwa Pandawa dulu pernah di sana. Sudah tentu, menurut arkeologi, tidak. Mungkin karena keintiman seperti itu kita umumnya jarang melihat kisah Mahabharata dan Ramayana sebagai dua cerita yang punya awal dan akhir seperti novel. Kita lebih tertarik dengan tokoh-tokohnya -- yang bisa muncul di kisah mana pun, seperti Robert Redford bisa muncul di cerita perang atau cerita koboi. Tak habis-habisnya.
Karena itu esei Franz Magnis Suseno ini segar sekali buat kesadaran kita. Mungkin justru karena dia bukan "ahli wayang", dan tak berasal dari dalam lingkungan kebudayaan Jawa, dia dapat melihat apa yang selama ini kita terima sebagai bagian yang tak menarik perhatian kita sendiri -- atau telah kita lupakan. Misalnya kesimpulan, bahwa wayang "tidak bersifat moralistis". Meskipun intinya tidak baru ( telah diungkapkan misalnya oleh sarjana Amerika B.R.C.G. Anderson), kesimpulan Franz Magnis layak dikutip di sini: "Wayang itu tidak mau menggurui kita, tidak mau memberi pelbagai nasihat dan norma-norma." Terutama dalam lakon Mahabharata, [B]"orang Jawa menyadari bahwa baik buruk seseorang bukanlah perkara yang mudah diputuskan . . ." [/B]
SIKAP wayang yang menolak gambaran Manichean "sana-hitam-sini putih" itu bagi Franz Magnis nampaknya merupakan ciri sentral. Berulang kali hal ini disebutkannya. Tentang itu, sekedar catatan bisa dikemukakan di sini. Orang bisa menyetujui Franz Magnis dengan menambahkan, bahwa bukan cuma Mahabharata yang "antimoralis". Ramayana juga. Kurang tepat bila Franz Magnis menyebutkan, bahwa dalam kisah Rama ini, cuma satu orang yang dilukiskan punya watak luhur di kubu "hitam" Rahwana (halaman 19). Pun warna "putih" Rama sendiri agak cela, bila kita ingat bagaimana ia mengintervensi konflik Subali-Sugriwa. Terbunuhnya Subali oleh panah Rama, tak pernah saya pahami betul sejak saya kanak-kanak hingga sekarang. Kematian itu teramat menyedihkan. Dalam hal itu, Franz Magnis hanya sekedar kurang lengkap. Tak berarti tesisnya salah. Tapi bagaimana kalau tesisnya salah? Benarkah "orang Jawa tak begitu suka dengan suatu pandangan dunia yang hitam putih, simplistis, moralistis"?
Untuk itu tentu perlu penelaahan lebih lanjut. Misalnya tentang sejarah penciptaan Mahabharata sendiri. Dalam kata-kata Radhakrisnan, dari bukunya tentang filsafat India, Mahabharata disusun oleh banyak orang, dan "menjadi suatu ensiklopedia aneka-ragam." Tidakkah karena itu cerita ini tidak simplitis moralitasnya? Dan bukan karena kecenderungan sikap orang Jawa? Ataukah karena pengaruh karya besar Hindu ini, di mana (sekali lagi menurut Radhakrisnan) "ide-ide yang bertentangan dihimpun bersama dalam satu keseluruhan," maka orang Jawa cenderung toleran terhadap perbedaan keyakinan? Bila itu benar, bagaimana menerangkan terjadinya banyak kekerasan dalam sejarah Jawa, misalnya ketika Amangkurat I membunuhi para ulama? Seberapa jauh sikap "antimoralis" tercermin dalam karya sastra orang Jawa asli, sejak karya Yasadipura sampai dengan karya Any Asmara, sejak Wulang Reh sampai dengan Perjuangan Suku Naga? Sudah tentu mustahil bagi buku kecil Franz Magnis ini untuk mengemukakan hal itu lebih jauh.
Nilai yang amat berharga dari risalah ringkasnya justru pesan Franz Magnis Suseno melalui interpretasinya tentang wayang. Izinkanlah saya mengutipnya: [B]"Apa yang dipertontonkan dalam wayang dapat mengesan pada kita, tanpa memaksa kita ke salah satu arah. Kita ditawari kemungkinan-kemungkinan hidup manusiawi, tetapi tak ada sesuatu yang kita tiru begitu saja . . . Kita sendiri harus menemukan apa yang menjadi kewajiban kita masing-masing." [/B]
Goenawan Mohamad
sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1982/06/19/BK/mbm.19820619.BK46924.id.html#