Indraa63
- 20/04/2010 11:43 AM
#61
Spoiler
for Jam gadang
Tengara atau ikon Kota Bukittinggi yang terlihat gagah, ternyata rapuh. Gempa yang menggoyang Sumatera Barat di awal Maret tiga tahun silam dengan kekuatan 6,4 Skala Richter menghasilkan beberapa kerusakan pada “Big Ben” –nya Sumatera Barat ini.
Dari hasil penelitian awal Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar ditemukan adanya kerusakan struktural yaitu retakan yang terjadi pada dinding tingkat satu bagian atas, sedangkan pada dinding tingkat dua dan tiga terjadi keretakan pada bagian atas dan bawah.
Selain itu lapisan plester di beberapa bagian dinding terkelupas. “Beberapa kaca jendela pecah, ada juga yang hilang. Kaca penggantinya tidak mengikuti motif asli, motif kotak dan ceplok bunga,” ujar Kepala Pokja Dokumentasi, Publikasi, dan Pengembangan BP3 Batusangkar, Teguh Hidayat, beberapa waktu lalu dalam Sosialisasi Rehabilitasi Jam Gadang di Bukittinggi.
Di luar itu, BP3 Batusangkar juga menilai, kusen kayu pada Jam Gadang sudah lapuk dan rapuh, belum lagi warna cat yang sudah memudar, dan kondisi mesin jam yang tidak terawat. “Itu ditambah pemasangan jaringan listrik yang tidak teratur, lampu sorot menempel pada bangunan, speaker di tingkat lima menempel pada bangunan. Dengan kondisi ini semua, kita perlu segera memugar Jam Gadang supaya kalau ada gempa lagi, bangunan ini aman,” tandasnya.
Dalam rangka menyelamatkan Jam Gadang. salah satu pusaka Indonesia korban gempa, Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda turun tangan di Bukittinggi. Mereka membantu pemerintah kota melakukan apa yang disebut penyelamatan pusaka pasca bencana (heritage emergency response post disaster).
Program ini baru mulai ketika tsunami menyapu Aceh dan Nias. Kemudian gempa besar mengguncang Yogyakarta, berlanjut dua gempa besar di Sumatera Barat.
Bukittinggi bersama Aceh, Nias, Yogyakarta, Padang, Pariaman, dan Batusangkar menjadi kota-kota yang masuk dalam program heritage emergency tadi.
Sosialisasi pemugaran Jam Gadang yang digelar BPPI dan pemerintah Belanda sebenarnya semacam “permisi” atau “kulo nuwun” pada pemerintah kota karena pemugaran dilakukan oleh pihak dari luar Bukittinggi. Pasalnya seperti yang dipaparkan Teguh, belum ada sumber daya manusia di bidang pelestarian benda cagar budaya (BCB) di daerah otonom. Demikian pula tenaga teknis bidang pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan BCB. “Pemahaman dan apresiasi terhadap BCB dan proses pelestarian juga masih kurang,” imbuhnya.
Masalah tersebut di atas masih ditambah dengan anggaran pelestarian yang sangat minim karena belum jadi satu kepentingan. Maka jangan heran jika di banyak daerah otonom, termasuk Bukittinggi, belum ada penetapan BCB dan belum ada regulasi dalam bentuk peraturan daerah (perda).
Dari fakta tersebut di atas maka wajar jika sebuah program rehabilitasi pusaka pasca bencana perlu disosialisasikan pada warga setempat. Alasannya, minimnya pemahaman tentang pentingnya pelestarian. Jika ada pun, pastinya sangat beragam. “Memang dalam hal rehabilitasi Jam Gadang persepsi harus sama antarwarga. Karena yang mengerjakan BPPI bersama Belanda. Kita sendiri tidak mungkin melakukan itu karena tidak ada dana. Itu kan mahal sekali, tidak bisa dengan APBD,” ujar Wali Kota Bukittinggi Ismet Amzis.
Persoalan pelestarian BCB, dalam hal ini Jam Gadang, kemudian akan bergeser pula pada persoalan pengaturan lalulintas di kawasan yang menjadi BCB atau di kawasan di mana ada BCB. Seperti yang lazim pada kawasan bersejarah di seluruh dunia, kawasan BCB biasanya terlarang untuk kendaraan bermotor. Maka dalam kasus Jam Gadang, BPPI merekomendasikan agar tak ada kendaraan motor yang diperbolehkan melintas di kawasan tersebut. “Menjaga supaya getarannya tidak menambah rusak kondisi Jam Gadang,” ujar Direktur Eksekutif BPPI Catrini Kubontubuh.
Tentu saja rekomendasi tersebut agak membuat Wali Kota Bukittinggi terkejut. “Kita akan ikuti rekomendasi BPPI tapi mungkin tidak bisa sekarang. Dan tidak bisa dilarang sama sekali. Mungkin hanya kendaraan dengan beban yang berat yang tidak boleh lewat di situ,” jawab Ismet.