★★★ Sejarah Singkat ★★★
Quote:
Sejarah SMA Negeri 3 Yogyakarta tidak lepas dari julukan sekaligus nama besar PADMANABA. Bahkan, khalayak tertentu lebih paham dan terkesan dengan nama PADMANABA daripada SMA Negeri 3 Yogyakarta.
SMA Negeri 3 Yogyakarta, yang menempati bangunan dengan luas 3.600 m2 di atas lahan seluas 21.640 m2 , di kawasan Kotabaru ini, pada zaman kolonial Belanda sampai pecah PD II (Desember 1941) dikenal sebagai AMS (Algemene Middelbare Schol) afdelling B. Pendidikan yang diselenggarakan waktu itu lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah kolonial. Siswa sekolah ini umumnya adalah anak-anak bangsawan (elite pribumi) dan anak-anak pegawai pemerintah kolonial. Perlakuan diskriminatif berkaitan dengan ras dan status sosial, serta pendidikan yang menekankan aspek disiplin yang ketat serta sikap patuh terhadap pemerintahan kolonial, tak pelak lagi menghasilkan generasi dengan sikap rendah diri di kalangan bangsa pribumi terhadap bangsa kulit putih, serta tumbuhnya perasaan pada anak-anak pribumi sebagai warga kelas dua di tanah air sendiri. Hal demikian mengakibatkan terhambatnya perkembangan intelektualitas bangsa pribumi. Rupanya ini sengaja dilakukan oleh pemerintah kolonial waktu itu, agar tetap berkuasa di bumi pertiwi Nusantara tercinta.
Berkat hidayah dan rahmat Allah, kalangan anak-anak pribumi yang menjadi siswa sekolah ini memiliki kepribadian serta sadar sebagai bangsa yang bermartabat, sehingga tergugah untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa. Dalam perjalanan waktu yang panjang, anak-anak pribumi alumni AMS B semakin banyak dan tersebar di seluruh nusantara. Tidak sedikit dari mereka tumbuh menjadi tokoh-tokoh masyarakat dan pejuang patriot yang terlibat langsung dalam pasang-surut perjuangan bangsa ini dari prakemerdekaan sampai era reformasi sekarang. Mereka adalah mutiara generasi masa lalu dan teladan bagi negerasi penerus.
Alumni AMS B menyatu tergabung dalam naungan organisasi KELUARGA ARGABAGYA, yang sampai sekarang selalu aktif melakukan pertemuan-pertemuan dan kegiatan, sebagai aktualisasi kepedulian mereka terhadap dinamika almamater. Salah satu wujudnya adalah Gedung Pertemuan Argabagya yang berdiri megah di sayap barat gedung sekolah
Lahirnya Padmanaba
Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang (Juni 1942), AMS B diubah menjadi SMT ( Sekolah Menengah Tinggi ) bagian A dan bagian B. Pada tanggal 19 september 1942, bertolak dari azas kebersamaan yang tumbuh dari perasaan senasib sebagai bangsa tertindas, tumbuh suatu keberanian sekaligus suatu kesepakatan untuk membentuk wadah berorganisasi bagi keluarga besar pelajar yang ada, dengan nama PADMANABA. Dalam wadah ini, para pelajar mengalami penggodogan mental dan pembentukan sikap patriotisme serta nasionalisme yang mendorong mereka sekaligus untuk melakukan latihan keprajuritan. Padmanaba tak ubahnya kawah candradimuka bagi terlahirnya ksatria-ksatria pejuang bangsa.
Sebagai bukti sikap ksatria dan kepejuangannya adalah pada perjuangan perebutan senjata di Kotabaru dari tangan Jepang, kemudian Agresi Militer II pendudukan tentara Belanda atas Kotabaru, serta medan-medan pertempuran yang lain, banyak putra-putra Padmanaba ikut angkat senjata bergabung dengan Tentara Pelajar mengusir kolonial Belanda.
Semburan merah darah pejuang yang gugur mewarnai persada, adalah bukti keikhlasan dan kebanggaan mereka mengabdikan hidupnya bagi martabat bangsa. Mereka yang gugur sebagai kusumabanga, antrara lain: Faridan M. Noto, Suroto Kunto, Sudiarto, Joko Pranoto, Jumerut, Kunarso, Suryadi dan Purnomo.
Di balik semua itu, PADMANABA ternyata mengandung kisah tersendiri yang juga memiliki romantika dalam upaya melahirkan generasi yang memiliki kepribadian pejuang dan watak Ksatria. Di tahun 1942, Bapak R.J. Katamasi, menugaskan para muridnya untuk menggambar. Objeknya adalah teratai merah yang ada di kolam di halaman tengah sekolah. Dengan kearifan seorang begawan beliau terlebih dahulu menjelaskan tentang arti dan makna folosofi teratai merah itu.
Teratai merah (Nelumbium Speciosum) dalam bahasa sanskerta disebut PADMA. Dalam kepercayaan agama bangsa-bangsa timur, PADMA merupakan salah satu lambang sakral untuk banyak hal yang menyangkut masalah kehidupan manusia. Dari kehidupan teratai yang bersahaja dapat ditarik banyak pelajaran. Apabila air pasang, teratai naik. Sementara bila air surut terataipun turun. Daun teratai yang senantiasa mengapung rata di permukaan air tak pernah kotor sekalipun hidup di air keruh. Bunga yang muncul dari dalam air itu tetap bersih, segar dan indah. Akar yang kait-mengait dalam dasar kolam membuat teratai tidak gampang meninggalkan hidupnya. Semua itu melambangkan sikap kematangan dan kemapanan, dan kejuangan serta sikap cinta tanah air yang telah menghidupinya. Teratai merah/lotus melambangkan kesucian. Teratai merah membangun kehidupan harmoni dengan lingkungannya tanpa mengorbankan jatidirinya. Ia tetap bersih sekalipun air di sekelilingnya kotor. Keindahannya terjangkau oleh siapapun dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dalam agama Budha sikap semedi Sang Budha Gautama juga digambarkan seperti posisi bunga teratai (Lotus position). Sang Budha duduk di atas singgasana yang disebut “Padmasana” (sana=tempat), atau pusat tempat tumbuh bunga teratai. Padmanaba berarti sesuatu yang pusatnya berbunga teratai, (naba=pusat). Sungguh agung makna filosofis bunga teratai.
Mitos mengenai bunga teratai yang lain adalah seperti pada agama Hindu, bahwa padma tumbuh dari pusar Dewa Wishnu ketika terbangun dari semedinya di atas Ananta. Dan dari padma tersebut kelak akan lahir Dewa Brahma. Padma yang keluar dari pusar dewa Wishnu tadi mempunyai makna folosofis kesucian, keberanian, dan kemajuan. Dalam dunia pewayangan, Wishnu --juga Kresna sebagai titisannya-- disebut juga sebagai Padmanaba.
Demikianlah, bila logo Tunas kelapa (Pramuka) melambangkan cita-cita tumbuh berkembang menjadi insan multiguna seperti pohon kelapa, maka kuncup teratai melambangkan cita-cita pertumbuhan menjadi manusia yang suci, beriman dan taqwa (Padmanaba).
Dalam kisah melukis teratai merah seperti diceritakan di depan, yang dinilai terbaik adalah lukisan karya Suhud. Akhirnya, Suhud diberi tugas membuat “logo” organisasi Padmanaba berupa teratai merah, dengan dua kelopak bunga dan delapan daun yang tersusun menjadi dua lapis yang arah keduanya bertolak belakang, seperti logo yang dapat kita lihat sekarang. Dalam membuat logo Padmanaba, Suhud dibantu oleh Sulaiman.
Ksatria pemuda Suhud berhasil pula mempersembahkan lagu Mars Padmanaba, yang senantiasa dikumandangkan sampai saat ini sebagai lagu kebanggaan keluarga Padmanaba.
Sampai saat ini organisasi Padmanaba tetap langgeng, berkembang menjadi organisasi yang makin tangguh, kompak, dinamis dan tanggap terhadap kebutuhan pembangunan bangsa dan negara tercinta.
Sejak berdiri hingga sekarang SMA Negeri 3 Yogyakarta mengalami pergantian nama dan kepala sekolah. Setelah pada tahun 1942 namanya diubah dari AMS B menjadi SMT Bagian A dan B, pada tahun 1948 nama sekolah ini diubah menjadi SMA Bagian B. Tahun 1956 bernama SMA III-B. Pada tahun 1964 nama sekolah ini adalah SMA Negeri 3 Yogyakarta. Sejalan dengan pembaruan pendidikan dan kurikulum, pada tahun 1994, sekolah ini diubah menjadi SMU Negeri 3 Yogyakarta, dan mulai tahun 2004 kembali bernama SMA Negeri 3 Yogyakarta, seiring dengan digunakannya Kurikulum SMA 2004.
★★★ Kepala Sekolah ★★★
Quote:
Nama-nama kepala sekolah sejak tahun 1942 adalah sebagai berikut: (1) 1942 – 1945: R. Katamsi, (2) 1945 – 1946: Prof. Dr. Soegarda Poerbokawotjo, (3) 1946 – 1947: Prof. Dr. Priyono, (4) 1947 – 1950: Ir. Marsito, (5) 1950 – 1951: Drg. Nasir Alwi, (6) 1951 – 1956: Muh. Sjahlan, (7) 1956 – 1963: R. Soecipto, (8) 1963 – 1971: Moedjono Probopranowo, S.H., (9) 1971 – 1976: Utoyo Darmabrata, (10) 1976 – 1981: Haji Muh. Solihin, (11) 1981 – 1985: Drs. Oetoro, (12) 1985 – 1987: Drs. Wahyuntana, (13) 1987 – 1991: Ariento Sukotjo, (14) 1991 – 1993: Drs. Mashari Subagijono, (15) 1993 – 1997: Drs. Soenarto, (16) 1997 – 2002: Drs. Nursisto, (17) 2002 - 2004: Drs. H. Mashadi AR., (18) 2004 - 2005: Dra. Hj. Sri Ruspita Murni, dan (19) 2005 - 2007: Drs. Bambang Supriyono, M.M., (20) 2007 – 2009: Drs. H. Bashori Muhammad, M.M., (21) 2009 – sekarang: Dra. Dwi Rini Wulandari, M.M.