"Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat"
Lukas 23:24
Umurnya setengah baya. Kurus, hampir-hampir lemah.
Kepalanya mulai botak dan memakai kaca mata.
Hobinya elektronika. Ia patuh kepada hukum dan orangnya takut-takut.
Bukan gambaran yang baik bagi seorang vigilante.
Dan tentu ia juga tidak cocok sebagai pemeran Robin Hood atau Lone Ranger.
Tetapi, itu tidak menjadi soal bagi khayalak ramai di masyarakat.
Ketika sang eksekutor menembak 4 orang yang akan merampok di kereta bawah tanah di pusat kota,
ia langsung mjd pahlawan.
Seorang aktris ternama mengirimkannya "Telegram cinta". Kaos-kaos "pembasmi kejahatan" bermunculan di jalan-jalan kota.
Sebuah kelompok rock menciptakan lagu untuk menghormatinya.
Orang-orang memberi dan mengumpulkan uang untuk pembelaannya.
Acara-acara radio yang membahas peristiwa aktual dilanda telepon para pendengar.
"Mereka tidak mau melepaskan kasus itu," kata salah satu pengasuh radio.
Tidak sulit mencari alasan mengapa hal itu terjadi.
Sang eksekutor ini mrp khayalan masyarakat yg mjd kenyataan.
Ia melakukan apa yg ingin dilakukan oleh setiap warga.
Ia melawan.
Ia "menendang" pengacau-pengacau tepat di tulang keringnya."
Dukungan yang terus mengalir menjadi bukti yang jelas.
Orang-orang marah. Mereka geram.
Ada semacam kegusaran yang membara yang sudah lama ditahan-tahan, yang membuat kita mengelu-elukan seseorang tanpa rasa takut (atau dengan rasa takut) mengatakan,
"Saya tidak bisa terima ini lagi!" lalu maju dengan senjata di kedua belah tangannya.
Kita sudah lelah. Lelah digertak, diusik, diintimidasi.
Kita sudah lelah dengan pembunuh beruntun, pemerkosam dan pembunuh-pembunuh bayaran.
Tapi apakah benar caranya seperti itu?
Marilah kita pikirkan sebentar mengenai kemarahan kita.
Apakah itu cara hidup yang baik?
Apakah pernah ada yang baik yang dihasilkan dari rasa benci?
Harapan apa yang tercipta karena kemarahan?
Adakah masalah pernah diselesaikan melalui dendam?
Tidak ada yang dapat mempersalahkan publik karena bertepuk tangan bagi orang yang melawan.
Tetapi, setelah pamornya hilang, realitas membuat kita bertanya:
Kebaikan apa yang telah tercapai? Apakah memang begitu caranya memberantas kejahatan?
Apakah kereta bawah tanah sekarang sudah aman? Jalan-jalan sudah bebas ketakutan? Tidak.
Menjadi hakim sendiri bukanlah jawabannya.
Lalu, apa yang harus diperbuat?
Kita tidak dapat menyangkal adanya kemarahan itu. Bagaimana mengekangnya?
Pilihan yang baik ada pada Lukas 23:34.
Disini Yesus berbicara kepada gerombolan orang yang membunuh-Nya. "Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Apakah anda pernah bertanya-tanya bagaimana Yesus bisa menahan diri dari pembalasan?
Pernah bertanya-tanya bagaimana Ia mengendalikan diri? Ini jawabannya. Bagian kedua dari ucapan-Nya berbunyi: "Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Perhatikan baik-baik. Sepertinya Yesus melihat gerombolan yang haus darah ini bukan sebagai pembunuh tetapi sebagai korban. Seolah-olah Ia melihat pada wajah mereka bukan suatu kebencian tetapi kebingungan.
Seolah-olah Ia menganggap mereka bukan sebagai gerombolan yang militan, tetapi seperti yang diungkapkan-Nya, sebagai "domba tanpa seorang gembala."
"Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Dan kalau dipikir-pikir, mereka memang tidak tahu,
Mereka sama sekali tidak ada bayangan tentang apa sebenarnya yang mereka perbuat.
Mereka hanya gerombolan yang dihasut, yang marah akan sesuatu yang mereka tidak bisa lihat, sehingga dilampiaskan saja kepada salah satu pihak, bukannya kepada orang lain, bahkan kepada Tuhan.
Tetapi mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
Dan untuk sebagian besar, kita pun tidak tahu.
Sekali pun kita enggan mengakuinya, kita masih saja seperti domba yang tak punya gembala.
Yang kita tahu hanyalah bahwa kita lahir dari suatu kekekalan dan kita amat dekat dengan kekekalan yang lain yang membuat kita takut.
Kita main kejar-kejaran dengan kenyataan-kenyataan yang tidak jelas dari kematian dan penderitaan.
Kita tidak dapat menjawab pertanyaan kita sendiri tentang kasih dan sakit hati.
Kita tidak dapat memecahkan teka-teki proses menjadi tua.
Kita tidak dapat menghindarkan diri kita dari peperangan.
Bahkan kita tidak dapat menyediakan makanan untuk diri sendiri.
Paulus berbicara atas nama umat manusia ketika ia mengaku, "sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu." (Rm 7:15)
Sekarang kita tahu itu tidak membenarkan apa pun.
Tidak membenarkan kita untuk menjadi pengemudi tabrak lari, penjaja seks, atau pengedar narkotika.
Tetapi itu dapat menerangkan mengapa orang-orang melakukan hal-hal menyedihkan seperti itu.
Maksudnya begini: Kemarahan yang tak terkendali tidak akan memperbaiki dunia kita, tetapi pengertian yang simpatik dapat mengubahnya.
Kalau kita sudah bisa melihat dunia ini serta diri kita sendiri sebagaiamana adanya, kita bisa membantu.
Sekali kita dapat mengerti diri kita sendiri, kita akan berangkat bukan dari sikap marah tetapi dengan menunjukkan rasa iba dan kepedulian.
Kita memandang dunia bukan dengan bersungut-sungut tetapi dengan tangan terbuka.
Kita sadar bahwa cahaya padam dan banyak orang terjatuh-jatuh dalam kegelapan.
Maka kita menyalakan lilin.
Seperti pernah dikatakan Michaelangelo, "Kita mengkritik dengan jalan berkreasi."
Daripada memberi perlawanan, kita memberi bantuan.
Kita pergi ke daerah-daerah kumuh.
Kita mengajar di sekolah-sekolah.
Kita membangun rumah sakit dan membantu anak yatim piatu. . . dan kita simpan senjata kita. (pistol, pedang, pentungan, dll)
"Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Ada sesuatu tentang suatu pengertian akan bumi ini yang membuat kita mau menyelamatkannya, bahkan mati untuknya.
Kemarahan? Kemarahan tidak pernah bermanfaat untuk siapa pun.
Pengertian? Ya, hasilnya tak secepat senjata-senjata dari senapan para vigilante, tetapi setidaknya jauh lebih membangun.