ccck
- 25/04/2011 11:30 AM
#241
Quote:
Original Posted By dark.age ►
gw ngeliat orang2 hindu meletakkan semacam sesaji di pintu rumahnya, di halaman rumahnya, dan tempat lainnya. bisa dijelaskan maksudnya ??
gw ngeliat orang2 hindu meletakkan semacam sesaji di pintu rumahnya, di halaman rumahnya, dan tempat lainnya. bisa dijelaskan maksudnya ??
sepertinya artikel ini menarik;
Quote:
Arti Bhuta Yadnya atau Mecaru
Di dalam arti umum Bhuta Yadnya adalah berarti korban (sacrifice) yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Kata Bhuta Kala berasal dari kata bhu yang artinya menjadi, ada atau wujud. Kata bhu di dalam bentuk pasif past participle menjadi bhuta yang artinya telah dijadikan, telah diadakan, atau telah ada. Ada pula kata menurut Radhkrisnan di dalam bukunya Indian Philosopy disebutkan bahwa kala itu berarti energi atau kekuatan. Sedangkan kata kala juga berarti wakti.
Dalam pengertian filosofi bhuta kala itu berarti kekuatan yang negatif. Sedangkan di dalam pengertian umum di masyarakat bhuta kala itu digambarkan berwujud menakutkan mempunyai taring, matanya besar dan sebagainya serta mengerikan. Disamping kata bhuta kala, kita mengenal juga pancaniahabhuta yang diartika lima unsur benda yang terdiri dan
ertiwi (zat padat), apah (air/zat cair), teja (sinar/panas), wayu (udara /angin), dan akasa (semacam hampa udara).
Jadi kata bhuta ini berarti zat atau unsur sedangkan kala kekuatan, Di dalam lontar Purwabhumi Kemula dan Purwabhumi Tua disebutkan bahwa setelah Batara Siwa dan Betari Uma menciptakan segala isi dunia, maka Batara Siwa berubah wujud menjadi Bhatara Kala (maha kala). Bhatari Uma atau Bhatari Durga yang selalu dilukiskan sebagai lambang pradana yaitu lambang benda-benda duniawi dan Bhatara Kala, sebagai lambang dan energi atau kekuatan, maka kedua wujud beliau inilah yang menciptakan segenap Bhuta Kala. Kalau kita artikan secara arti kata maka Bhuta Kala itu adalah kekuatan dari lima unsur yaitu, tanah, air, angin, panas, akasa, atau segala benda yang sudah memiliki energi.
Kekuatan-kekuatan Bhuta Kala ini kalau kita konkretkan dengan kita lihat secara lahiriah sebagai gempa bumi, banjir, halilintar, angin topan, dan sebagainya. Di dalam pikiran nenek moyang kita semua kekuatan alam ini yang tidak atau belum sangup dikendalikan oleh manusia dibayangkan dan dipersonifikasikan dalam wujud yang menakutkan sebagai Bhuta Kala yang bertaring panjang. Bermata bulat dan menyala dan selalu mengganggu dan mau membunuh seisi dunia ini.
Kalau kita mengupas simbol-simbol yang digambarkan di dalam lontar Puwabhumi Kemulan yang menceritakan tentang penciptaan alam semesta ini Ida Sang Hyang Widhi maka akan jelas bahwa Ida Sang Hyang Widhi yang menciptakan dua hal yang pokok yaitu benda dan energi yang dilukiskan dalam bentuk Bhatari Uma (Durga) dan (Panca) Korsica dan Kelima (Panca) Korsica ini hanya Preanjala yang juga dikenal dengan nama Siwa atau Kala, merupakan sumbernya energi. Sebab itu Bhatara Siwa disebut juga Maha Kala yang berarti sumber energi dan Bhatari Durga adalah ibu alam semesta The Mother Goddess) sumber-sumber dan matahani. Dengan demikian maka lontar-lontar kita di Bali antara lain Purwa Bhumi Tattwa dan Purwa Bumi Kemulan dan Parwaka Bumi sebenarnya tidak menyimpang dan filsafat samkya dan wedanta tentang penciptaan dunia dengan segala isinya ini. Hanya saja, lontar-lontar kita selalu menggambarkan serta melukiskan kekuatan-kekuatan ini dalam wujud sebagai manusia atau mahluk.
Kekuatan-kekuatan yang baik diwujudkan di dalam bentuk sebagai Dewa yang serba bagus dan cantik sedangkan kekuatan buruk yang buruk dan merusak dilukiskan dalam bentuk bhutakala yang menakutkan dan mukanya buruk sifat-sifatnya yang selalu menimbulkan bencana. Bukankah kita merasakan alam kita tidak selalu memeberikan keuntungan ? karena disamping hasil bumi serta udara yang sehat kta dapat nikmati, juga berbentuk bencana sering pula kita alami, semua ini disebabkan karena kita tidak atau belum bisa mengendalikan kekuatan alam atau sepenuhnya. Air yang besar sebenarnya bisa banyak gunanya kalau kita bisa mengendalikan, demikian pula angin, tanah, dan matahari. Semuanya itu adalah : ciptaan Ida Sang Hyang Widhi. Mengapa manusia tidak bisa mengendalikan alam ini?
Hal ini disebabkan oleh karena keserakahan manusia itu sendiri, manusia ingin mengambil dan menikmati alam ini seenaknya saja dengan tidak memperhitungkan keharmonisan dan keseimbangan. Demikian tukang kayu membutuhkan kayu, maka hutan ditebang saja demikian rupa, mestinya dijaga hutan dan areal persawahan supaya harmonis dan seimbang, agar tidak menimbulkan banjir atau kekurangan air, malahan mereka merabasnya dengan serakah. Panas serta panasnya api harus dikendalikan secara harmonis agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya dengan tidak merusak lingkungan. Di dalam upacara agama kita mengenal kata caru, apakah artinya caru itu? Di dalam Sankrit-English dictionary oleh Sir Monier Williams kata caru itu diartikan enak, manis, sangat menarik.
Kalau kita mencoba menghayati sebenarnya di dalam kata enak, manis, menarik kini terkandung pengertian harmonis. Di dalam bahasa Bali dikenal dengan “pangus”, sesuatu yang indah yang ditimbulkan karena adanya keharmonisan dan keseimbangan.
Jadi kesimpulannya Bhuta Yadnya atau caru ini sebenarnya adalah pengorbanan manusia untuk menjaga keharmonisan alam semesta ini, karena alam kita inilah sebenarnya bhuta dan kekuatan-kekuatan alam inilah yang dilukiskan secara kontroversial, kekuatan alam yang baik digambarkan sebagai dewa-dewa, dimana kata dewa itu sebenarnya artinya sinar yang lain dan sinar dan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan kekuatan alam yang merusak digambarkan sebagai bhuta kala walaupun anti sebenarnya adalah kekuatan alam yang belum tentu merusak tetapi selalu dihubungkan dengan dengan kekuatan-kekuatan yang merusak. Untuk itulah memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan dan kekutan alam semesta ini agar selalu memberikan manfaat hidup. Tetapi mengapa umat Hindu di Bali mengendalikan alam semesta ini dengan upacara? Apakah dengan upacara sudah cukup bisa dikendalikan alam ini? Sebenarnya tidak demikian, kita selalu di dalam hidup kita berjuang menghadapi alam, dan sering kali kita lupa kadang-kadang kita tenlalu serakah mengambil isi alam ini sehingga menimbulkan polusi dan bencana. Sebab itulah maka perlu kembali untuk menjaga keseimbangan walaupun secara simbolik. Sebagai kias kiranya perlu kita berikan beberapa contoh perbandingan apa sebenarnya maksud dan tujuan dan upacara khususnya upacara” mecaru”. Dimana upacara keagamaan itu mengandung petunjuk-petunjuk yang dilukiskan secara simbolik sehingga perlu dikupas secara ilmiah agar kita dapat mengerti maksud dan tujuannya.
-sumber-
Di dalam arti umum Bhuta Yadnya adalah berarti korban (sacrifice) yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Kata Bhuta Kala berasal dari kata bhu yang artinya menjadi, ada atau wujud. Kata bhu di dalam bentuk pasif past participle menjadi bhuta yang artinya telah dijadikan, telah diadakan, atau telah ada. Ada pula kata menurut Radhkrisnan di dalam bukunya Indian Philosopy disebutkan bahwa kala itu berarti energi atau kekuatan. Sedangkan kata kala juga berarti wakti.
Dalam pengertian filosofi bhuta kala itu berarti kekuatan yang negatif. Sedangkan di dalam pengertian umum di masyarakat bhuta kala itu digambarkan berwujud menakutkan mempunyai taring, matanya besar dan sebagainya serta mengerikan. Disamping kata bhuta kala, kita mengenal juga pancaniahabhuta yang diartika lima unsur benda yang terdiri dan

Jadi kata bhuta ini berarti zat atau unsur sedangkan kala kekuatan, Di dalam lontar Purwabhumi Kemula dan Purwabhumi Tua disebutkan bahwa setelah Batara Siwa dan Betari Uma menciptakan segala isi dunia, maka Batara Siwa berubah wujud menjadi Bhatara Kala (maha kala). Bhatari Uma atau Bhatari Durga yang selalu dilukiskan sebagai lambang pradana yaitu lambang benda-benda duniawi dan Bhatara Kala, sebagai lambang dan energi atau kekuatan, maka kedua wujud beliau inilah yang menciptakan segenap Bhuta Kala. Kalau kita artikan secara arti kata maka Bhuta Kala itu adalah kekuatan dari lima unsur yaitu, tanah, air, angin, panas, akasa, atau segala benda yang sudah memiliki energi.
Kekuatan-kekuatan Bhuta Kala ini kalau kita konkretkan dengan kita lihat secara lahiriah sebagai gempa bumi, banjir, halilintar, angin topan, dan sebagainya. Di dalam pikiran nenek moyang kita semua kekuatan alam ini yang tidak atau belum sangup dikendalikan oleh manusia dibayangkan dan dipersonifikasikan dalam wujud yang menakutkan sebagai Bhuta Kala yang bertaring panjang. Bermata bulat dan menyala dan selalu mengganggu dan mau membunuh seisi dunia ini.
Kalau kita mengupas simbol-simbol yang digambarkan di dalam lontar Puwabhumi Kemulan yang menceritakan tentang penciptaan alam semesta ini Ida Sang Hyang Widhi maka akan jelas bahwa Ida Sang Hyang Widhi yang menciptakan dua hal yang pokok yaitu benda dan energi yang dilukiskan dalam bentuk Bhatari Uma (Durga) dan (Panca) Korsica dan Kelima (Panca) Korsica ini hanya Preanjala yang juga dikenal dengan nama Siwa atau Kala, merupakan sumbernya energi. Sebab itu Bhatara Siwa disebut juga Maha Kala yang berarti sumber energi dan Bhatari Durga adalah ibu alam semesta The Mother Goddess) sumber-sumber dan matahani. Dengan demikian maka lontar-lontar kita di Bali antara lain Purwa Bhumi Tattwa dan Purwa Bumi Kemulan dan Parwaka Bumi sebenarnya tidak menyimpang dan filsafat samkya dan wedanta tentang penciptaan dunia dengan segala isinya ini. Hanya saja, lontar-lontar kita selalu menggambarkan serta melukiskan kekuatan-kekuatan ini dalam wujud sebagai manusia atau mahluk.
Kekuatan-kekuatan yang baik diwujudkan di dalam bentuk sebagai Dewa yang serba bagus dan cantik sedangkan kekuatan buruk yang buruk dan merusak dilukiskan dalam bentuk bhutakala yang menakutkan dan mukanya buruk sifat-sifatnya yang selalu menimbulkan bencana. Bukankah kita merasakan alam kita tidak selalu memeberikan keuntungan ? karena disamping hasil bumi serta udara yang sehat kta dapat nikmati, juga berbentuk bencana sering pula kita alami, semua ini disebabkan karena kita tidak atau belum bisa mengendalikan kekuatan alam atau sepenuhnya. Air yang besar sebenarnya bisa banyak gunanya kalau kita bisa mengendalikan, demikian pula angin, tanah, dan matahari. Semuanya itu adalah : ciptaan Ida Sang Hyang Widhi. Mengapa manusia tidak bisa mengendalikan alam ini?
Hal ini disebabkan oleh karena keserakahan manusia itu sendiri, manusia ingin mengambil dan menikmati alam ini seenaknya saja dengan tidak memperhitungkan keharmonisan dan keseimbangan. Demikian tukang kayu membutuhkan kayu, maka hutan ditebang saja demikian rupa, mestinya dijaga hutan dan areal persawahan supaya harmonis dan seimbang, agar tidak menimbulkan banjir atau kekurangan air, malahan mereka merabasnya dengan serakah. Panas serta panasnya api harus dikendalikan secara harmonis agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya dengan tidak merusak lingkungan. Di dalam upacara agama kita mengenal kata caru, apakah artinya caru itu? Di dalam Sankrit-English dictionary oleh Sir Monier Williams kata caru itu diartikan enak, manis, sangat menarik.
Kalau kita mencoba menghayati sebenarnya di dalam kata enak, manis, menarik kini terkandung pengertian harmonis. Di dalam bahasa Bali dikenal dengan “pangus”, sesuatu yang indah yang ditimbulkan karena adanya keharmonisan dan keseimbangan.
Jadi kesimpulannya Bhuta Yadnya atau caru ini sebenarnya adalah pengorbanan manusia untuk menjaga keharmonisan alam semesta ini, karena alam kita inilah sebenarnya bhuta dan kekuatan-kekuatan alam inilah yang dilukiskan secara kontroversial, kekuatan alam yang baik digambarkan sebagai dewa-dewa, dimana kata dewa itu sebenarnya artinya sinar yang lain dan sinar dan sinar Ida Sang Hyang Widhi, sedangkan kekuatan alam yang merusak digambarkan sebagai bhuta kala walaupun anti sebenarnya adalah kekuatan alam yang belum tentu merusak tetapi selalu dihubungkan dengan dengan kekuatan-kekuatan yang merusak. Untuk itulah memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan dan kekutan alam semesta ini agar selalu memberikan manfaat hidup. Tetapi mengapa umat Hindu di Bali mengendalikan alam semesta ini dengan upacara? Apakah dengan upacara sudah cukup bisa dikendalikan alam ini? Sebenarnya tidak demikian, kita selalu di dalam hidup kita berjuang menghadapi alam, dan sering kali kita lupa kadang-kadang kita tenlalu serakah mengambil isi alam ini sehingga menimbulkan polusi dan bencana. Sebab itulah maka perlu kembali untuk menjaga keseimbangan walaupun secara simbolik. Sebagai kias kiranya perlu kita berikan beberapa contoh perbandingan apa sebenarnya maksud dan tujuan dan upacara khususnya upacara” mecaru”. Dimana upacara keagamaan itu mengandung petunjuk-petunjuk yang dilukiskan secara simbolik sehingga perlu dikupas secara ilmiah agar kita dapat mengerti maksud dan tujuannya.
-sumber-