ya ane masih jawab dengan ramah gan, mungkin pas dia lagi ngetik pas tersedak puting susu ibunya kale
Quote:
MENJINAKKAN BOM DI DALAM JIWA
The Killing Fields atau Platoon: telah berpuluh kali Hollywood merayu kita ke dalam suspensnya. Tentang Kamboja atau Vietnam. Namun toh ada yang tak henti menyentuh pesona, meski ia berdiri jauh di luar bayangan film. Ia seorang yang selalu berbicara dengan hati, bahkan dari dalam kecamuk perang, “Semestinya kita mati demi cinta dan toleransi, bukan untuk kebencian dan kehancuran,” katanya.
Kita baca sekali lagi kalimat itu lalu ingat kepada penulisnya yang sedih, tapi juga tabah. Orang itu siapa lagi kalau bukan Thich Nhat Hanh, yang menulis dan memimpin suara perdamaian di tengah gejolak perang saudara di halaman rumahnya, Vietnam.
Tentu itu dari tahun 1960-an ketika negeri ini dirajam cekcok. Perang, bagi sebagian orang, kalangan elit yang jumlahnya segelintir, adalah soal politik memenangkan tahta suatu ideologi atau kepentingan, sedang bagi sebagian lainnya, kalangan jelata yang dominan, ia hanyalah rentetan pertanyaan tak berjawab: mengapa sungai-sungai kami dijatuhi bom, hutan-hutan diracun, kampung-kampung dibasmi?
Itu pertanyaan sederhana, sesederhana hidup rakyat petani. Mereka tak pernah peduli dengan kata-kata “komunis”, “sosialis”, “demokrasi”, “liberalis”, “Uni Soviet” atau “Amerika Serikat”, yang campur tangan di negerinya. Yang mereka ingin hanya melanjutkan hidup, membangun kebudayaan dan nilai-nilai kemanusiaannya.
Tak ada yang mengerti mengapa perang harus pecah, saat saudara dan tetangga tiba-tiba menjadi musuh yang siap saling menghabisi. Ketika jutaan rakyat harus hidup mirip tikus, menyelinap dan berjejal di lorong-lorong labirin bawah tanah yang kusam dan lembab. Mungkin karena itu tak ada “pahlawan” yang pantas lahir dari sana. Saking absurdnya, sepotong puisi yang menempel tembok berdebu di Hanoi pun terdengar mirip suara ratapan yang berbicara kepada diri sendiri:
Kuucapkan selamat tinggal tempat yang terbakar.
Tempat dimana aku lahir. Inilah dadaku!
Arahkan senjatamu, saudaraku, tembaklah!
Kuserahkan tubuhku, tubuh yang dilahirkan dan dipelihara ibu kita
Maka siapapun ia, yang dianggap sebagai suara rakyat, yang tak bisa memahami perang, karenanya tak dapat berdiri di salah satu pihak yang bertikai – bersama para pemimpin dan gerakan anti kekerasan lainnya - memberi kesaksian: sementara beribu-ribu petani dan anak-anak kehilangan nyawa, negeri kami hancur secara tragis. Kami tidak sanggup menghentikan pertikaian. Kami tidak sanggup membuat diri kami mengerti…
Tak mudah untuk mengerti atas mesin-mesin perang yang mengamuk lebih dua puluh tahun di tanah yang ditumbuhi Budhisme itu. Bahkan mereka yang memilih berdiri di luar pertempuran untuk meyakinkan bahwa cinta dan hidup tanpa kekerasan berada di atas segala-galanya, harus jadi korban karena dicurigai kedua belah pihak yang bermusuhan, baik kaum komunis maupun fanatis antikomunis, Vietkong maupun pendukung pemerintah Saigon.
Masa-masa kusam tampaknya mesti menghinggapi setiap bangsa sebagai tragik sejarahnya. Sedang keyakinan terhadap cinta dan tanpa kekerasan, sebagaimana Gandhi dan Bunda Theresa, masih juga ingin meneguhkan diri meski itu bukanlah aksi perlawanan terhadap perang, tapi lebih sebagai perjuangan bagi setiap orang untuk memanusiakan dirinya sendiri.
Di sekitar kita mungkin tak ada yang seanggun Thich Nhat Hanh, seorang bhiksu yang kehilangan sifat-sifat buruk alaminya, yang menggetarkan rasa damai bagi siapapun yang menatapnya, yang menebarkan cinta ke pelosok-pelosok dunia, tetapi toh kita bisa belajar hidup tanpa kebencian, dendam dan kehancuran semacam itu.
Kekerasan semestinya juga perlu dilihat sebagai metafora agar orang dapat menarik pelajaran darinya. Namun di awal tahun baru ini kita dibenamkan ke dalam horor dunia nyata yang tiba-tiba mencengkeram dengan mesin perangnya, dalam kepulan asap dan merihnya air mata. Dan Gaza kembali dipenuhi jerit kematian dalam pertikaian militer Israel vs pejuang Hamas.
Siapa yang akan tinggal untuk merayakan sebuah kemenangan
yang terbuat dari darah dan api?
Penggalan puisi dari Vietnam tahun 1960-an itu, sampai hari ini, tak pernah mengabarkan siapa akhirnya keluar menjadi pemenang. Konon pertanyaan itu tak pernah terjawab, karena memang tak ada yang bisa disebut pemenang sebenarnya dari perang semacam itu. Dan pula karena memang tak pernah ada yang menginginkan kemenangan dari salah satu kekuatan yang bertikai, yang masing-masing hidup dengan keserakahan, ketidaktoleransian, kefanatikan, kebencian, konflik, dan diskriminasi yang mendekam di dalam hati mereka. Mereka kalah atau menang, hasilnya sama saja bagi kebanyakan orang.
Tapi perang yang tak perlu itu telah terjadi, juga di banyak belahan lain bumi ini. Jutaan nyawa manusia dikorbankan. Sampai sekarang masih banyak sisa-sisa ranjau dan bom yang belum dijinakkan di mana-mana. Benar kata Nhat Hanh, di tengah ketidakmengertiannya, yang diperlukan rakyat, bukanlah hasrat untuk mengalahkan yang lain, tapi sesuatu yang sangat sederhana: menjinakkan bom di dalam jiwa kita semua. “Berpalinglah untuk menghadapi musuhmu yang sesungguhnya, ambisi, kekerasan, kebencian, keserakahan...” bisik Nhat Hanh.